Tikus-Tikus Kepekaan
Bu Jendro terkenang pengalamannya dahulu menjadi pahlawan tanpa tanda jasa. Saat itu murid-muridnya bertanya tentang tanda-tanda gunung berapi mau meletus. ”Hewan-hewan pada berlarian ke kaki gunung,” Jendro menjawabnya di luar kepala. Persis kalau ia ditanya tentang resep bumbu tahu gunting.
—
TENTU saja, seperti resep bumbu tahu tek, tahu campur, dan sejenisnya, pengetahuan tentang tanda-tanda gunung mau erupsi itu adalah ilmu titen yang sudah diwariskan turun-temurun. Dikatakan bahwa para binatang dalam tanah pada muncul ke permukaan. Cacing. Tikus. Ular…
Seperti pertanda bahwa bumi bulat dari muncul kali pertama cerobong kapal di cakrawala sebelum akhirnya tampak utuh seluruh kapal. Ini pun pengetahuan yang turun-temurun dari generasi ke generasi.
Murid-murid antusias bertanya walau mulutnya masih penuh arum manis, rambut nenek, dan sejenis itu, ”Terus, Bu Guru, tanda-tanda gunung mau meletus itu apa, ya, kalau hewan-hewan sudah tidak ada karena hutan-hutan sudah tidak ada?”
Pertanyaan itu tidak saja menampar Jendro. Ia merasa dipermalukan oleh pertanyaan itu. Sejak itu ia mengundurkan diri sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Jadilah ia pahlawan dengan tanda jasa, yaitu sebagai orang parpol.
***
Masak cuma gegara pertanyaan receh begitu istri Sastro ini mundur. Nggak juga, sih. Sebenarnya sudah lama dia risi dengan sebutan pahlawan tanpa tanda jasa. Baginya, istilah gombal ini hanya lahir dari akal-akalan penguasa karena tidak mampu membayar layak para tenaga pendidik.
Guru mestinya dibayar sangat tinggi. Ingat, berkat gurulah lebih banyak polisi maupun agamawan yang tidak menjadi pemerkosa. Melihat situasi akhir-akhir ini sedih, sih, sedih. Tapi, coba hitung, banyakan mana polisi maupun agamawan pemerkosa dengan polisi maupun agamawan yang tidak menganut gaya hidup begitu.
Semua terjadi berkat guru. Walau masih ada penyebab lain seperti orang tua dan lingkungan.
Masuk akal bila Jendro maunya guru dibayar mahal. Bila guru digaji tinggi, akan terjadi persaingan positif. Warga negara akan berlomba-lomba untuk menjadi guru. Yang berhasil menjadi guru pastilah mereka yang terbaik. Bukan seperti zaman pahlawan tanpa tanda jasa ini. Yang menjadi guru biasanya hanyalah yang menjadikan guru sebagai pilihan cadangan. Bukan prioritas. Kualitas pendidikan pun akan menanjak. Jumlah polisi dan agamawan pemerkosa mudah-mudahan jadi menurun.
***
Walau sudah menjadi orang parpol, Jendro tak ikut-ikutan membawa sumbangan dan menancapkan bendera partai di seputar gunung berapi yang baru erupsi. Baginya, urusan tancap bendera biarlah hanya menjadi urusan para pendaki gunung.
Saat sedang mengikuti rapat kaderisasi suatu partai, tetiba Jendro menatap dua tikus di plafon. Mereka berkejaran. Entah kenapa, saat pemimpin partai sedang berbusa-busa menjelaskan kaderisasi partai, pikiran Jendro lebih fokus kepada dua tikus tersebut. Tepatnya lebih fokus kepada bekas-bekas lintasan binatang pengerat tersebut yang saling berkejaran.
Ditatap lebih cermat oleh Jendro, garis-garis bekas kelebatan ternyata membentuk kalimat berhuruf ”hanacaraka”. Bunyi kalimatnya menjawab pertanyaan murid-muridnya saat ia menjadi pahlawan tanpa tanda jasa.
”Bunyinya, tanda-tanda gunung berapi mau meletus sekarang ditengarakan oleh pos-pos pemantau gunung. Percuma bila hutan masih ada. Percuma ada hewan-hewan berlarian turun. Percuma hewan-hewan dalam tanah pada bermunculan ke permukaan. Manusia sudah tak peka lagi dengan keadaan. Mereka akan lebih sibuk kejijikan melihat cacing dan kaki seribu pada keluar tanah ketimbang membacanya sebagai pertanda.”
”Orang-orang sekarang berbeda dengan orang-orang baheula. Orang-orang dulu tanpa jam tangan bisa tahu sedang ada di saat pukul berapa. Mereka hanya merasakan angin via pori-porinya, melihat langit, merasakan pola degup jantungnya. Dengan kepekaan serupa, mereka tahu suhu tubuhnya berapa tanpa harus dibantu oleh termometer. Tekanan darahnya berapa tanpa harus dibantu tensimeter.”
***
Dari aksara Jawa yang diterakan oleh lintasan-lintasan gerak tikus itu Jendro berkesimpulan bahwa hutan dan satwa boleh tak dilestarikan. Toh kehadiran mereka sia-sia saja. Perilaku flora dan fauna sudah tak sanggup lagi dijadikan pertanda oleh manusia yang hilang sudah kepekaannya.
Sejak itu Jendro mundur dari parpol. Kembali ia menjadi guru, guru yang sudah mempunyai jawaban atas pertanyaan murid-muridnya, walau tetap keberatan profesinya diberi predikat pahlawan tanpa tanda jasa.
Walau demikian, Jendro tak sudi berdemo agar penguasa dan seluruh masyarakat mencabut predikat karatan tersebut. Ia memilih untuk berkonsentrasi mengajar saja. Pikirnya, untuk urusan yang satu ini, yaitu urusan rasa dongkol, penguasa dan seluruh masyarakat akan tahu dengan sendirinya tanpa harus ditunjuk-tunjukkan melalui demo dengan segala pekik dan poster-posternya.
Jendro lupa, kok perasaan itu dipendam, diekspresikan dalam unjuk rasa gede-gedean pun belum tentu penguasa dan masyarakat punya kepekaan untuk menangkapnya. Suaminya sendiri, Sastro, bahkan khilaf menangkap tanda bahwa istrinya sedang dongkol. Semakin sore Jendro semakin dongkol. Masih tega-teganya Sastro minta Jendro membikinkannya kopi seolah-olah ibu guru itu tidak sedang menanggung perasaan dongkol yang tumpuk-tumpuk. (*)
—
SUJIWO TEJO
Tinggal di Twitter @sudjiwotedjo dan Instagram @president_jancukers
No comments:
Write comments