Saturday, December 11, 2021

Beda Pendapat Pakar Hukum soal Korupsi yang Dilakukan Heru Hidayat

Beda Pendapat Pakar Hukum soal Korupsi yang Dilakukan Heru Hidayat

Beda Pendapat Pakar Hukum soal Korupsi yang Dilakukan Heru Hidayat -

JawaPos.com – Sejumlah pakar hukum pidana mengomentari tuntutan hukuman mati dalam kasus dugaan korupsi PT ASABRI yang diduga merugikan keuangan negara sebesar Rp22,7 triliun. Guru Besar Ilmu Hukum Pidana Andi Hamzah menjelaskan terkait pengertian dari pengulangan tindak pidana dalam kasus atau perkara pidana.

Andi mengutarakan, suatu perbuatan dinyatakan sebagai pengulangan tindak pidana jika seseorang melakukan tindak pidana baru, setelah sebelumnya dinyatakan terbukti bersalah dalam putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap atau residivis. Dia menyebut, jika seorang yang pernah melakukan tindak pidana korupsi lalu telah diputuskan bersalah oleh pengadilan, kemudian melakukan tindak pidana korupsi lagi, maka itu disebut pengulangan.

“Itu pengulangan, sudah diputus, korupsi lagi. Itu namanya melakukan pengulangan. Sudah melakukan korupsi, sudah diputus, korupsi lagi,” kata Andi dalam keterangannya, Minggu (12/12).

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga, Nur Basuki Minarno menyampaikan, tindak pidana yang dilakukan terdakwa Heru Hidayat dalam kasus dugaan korupsi PT ASABRI tidak bisa masuk dalam kategori pengulangan tindak pidana. Pasalnya, tindak pidana yang dilakukan dalam kasus Jiwasraya hampir bersamaan dengan tindak pidana dalam kasus Asabri.

Dia menilai, yang berbeda hanya waktu penuntutan, dimana kasus Jiwasraya lebih dahulu diproses dari kasus Asabri. “Jadi, kalau saya perhatikan, tempusnya hampir bersamaan, artinya waktu kejadian perkara itu terjadi bersamaan. Hanya saja proses penuntutannya berbeda. Jadi, ini bukan merupakan pengulangan tindak pidana,” ungkap Basuki.

Dia memandang, tindak pidana yang dilakukan Heru Hidayat dalam kasus Jiwasraya dan Asabri masuk dalam kategori konkursus realis atau meerdaadse samenloop. Hal ini berarti seorang melakukan sejumlah tindak pidana sekaligus dalam waktu yang bersamaan dan masing-masing tindak pidana berdiri sendiri.

“Ini merupakan konkursus, dalam ilmu hukum namanya konkursus realis. Jadi, melakukan beberapa perbuatan pidana, yang masing-masing perbuatan itu diancam dengan pidananya sendiri-sendiri. Jadi, tidak tepat kalau jaksa memberikan pemberatan kepada Heru Hidayat dengan alasan bahwa Heru Hidayat itu telah melakukan pengulangan tindak pidana,” cetus Basuki.

Dalam tuntutannya, Heru Hidayat dituntut hukuman mati dalam kasus dugaan korupsi PT ASABRI, oleh jaksa penuntut umum (JPU) pada Kejaksaan Agung. Heru Hidayat diyakini bersama-sama merugikan keuangan negara sebesar Rp22.788.566.482.083 atau Rp22,7 triliun.

Selian tuntutan pidana hukuman mati, Heru Hidayat juga dituntut untuk membayar uang pengganti sebesar Rp12.643.400.946.226 dengan ketentuan jika tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak menegaskan, meski memang tidak menyebut Pasal 2 Ayat (2) dalam dakwaan Jaksa, frase keadaan tertentu sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Ayat (2) adalah pemberatan pidana dan bukan sebagai unsur perbuatan, hal ini dicantumkan secara tegas dalam Penjelasan Pasal 2 Ayat (2) dalam UU Nomor 20 Tahun 2001.

Sementara itu, dalam Penjelasan Umum UU Nomor 20 tahun 2001 juga dinyatakan, dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-undang ini memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-undang sebelumnya, yaitu menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana.

Dengan demikian, sambung Leonard, tidak dicantumkannya Pasal 2 Ayat (2) seharusnya tidaklah menjadi soal dapat diterapkannya pidana mati. Karena hanya sebagai alasan pemberatan pidana, terlebih cukup terpenuhinya keadaan-keadaan tertentu yang dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (2), maka penjatuhan pidana mati dapat diterapkan.

“Keadaan tertentu sebagaimana dalam Pasal 2 Ayat (2) berdasarkan karakteristiknya yang bersifat sangat jahat, maka terhadap fakta-fakta hukum yang berlaku bagi terdakwa Heru Hidayat sangat tepat dan memenuhi syarat untuk dijatuhi pidana mati,” tegas Leonard.

Heru Hidayat dituntut melanggar melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan kedua primair Pasal 3 Undang-undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Beda Pendapat Pakar Hukum soal Korupsi yang Dilakukan Heru Hidayat

No comments:
Write comments

Get More of our Update